• Dzikir Pagi Dan Petang

    Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (Al-Ahzab: 41—42)

  • Dzikir Mejelang Tidur

    Siapa yang membaca ayat Kursi saat hendak tidur, maka sesungguhnya dia selalu berada dalam perlindungan Allah dan tidak didekati setan hingga pagi hari.

  • Bacaan Setelah Bangun Tidur

    Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (Al-Ahzab: 41—42)

  • Dzikir Setelah Shalat Fardlu

    Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (Al-Ahzab: 41—42)

  • Bacaan Shalat Tahajud

    Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (Al-Ahzab: 41—42)

Rabu, 02 Mei 2018

Pondok Pesantren Al-mubarok Lanbulan Gelar Haflah Ke-49

Haflah Akhirussanah merupakan agenda tahunan yang selalu digelar oleh setiap Pondok Pesantren di seluruh nusantara. Dimana berbagai macam kegiatan pun selalu di digelar guna menyambut dan memeriahkan perhelatan agung tahunan tersebut. Mulai Dari berbagai macam lomba, bakti sosial, hingga pertunjukan hiburan. 

Dikalangan pesantren nusantara, Haflah atau Haflatul-ikhtibar umumnya digelar tiap menjelang datangnya bulan suci ramadhan yakni antara bulan rojab dan bulan sya'ban (Tutup tahun ajaran baru). Tiap pesantren memiliki tradisi yang berbeda dalam merayakan akhir sebuah tahun pelajaran tersebut. Mulai dari pengajian, pagelaran seni budaya, dan kegiatan sosial lainnya.

Hari Ini rabu (16 sya'ban 1439 H). Bertepatan dengan Tgl (2 Mei 2018 M). Pondok Pesantren Al-mubarok lanbulan desa baturasang kecamata Tambelangan kabupaten sampang madura jawa timur, kembali menggelar acara haflah akhirrusanah sekaligus peringatan ulang tahunnya yang ke-49 tahun. 

Haflah akhirussanah digelar sebagai salah satu wujud rasa syukur para santri, setelah setahun lamanya dengan penuh keihklasan dan ketekunan dalam mengikuti kegiatan belajar dan mengajar di Pondok pesantren Al-mubarok lanbulan.

Hadir sebagai muballigh untuk memberikan tausiyah pada acara hari ini, Al-habib Sholeh Bin Muhammad Al-jufri, dari solo jawa tengah. Dan di meriahkan oleh masyarakat sekitar pesantren, serta di hadiri oleh para alumni dan simpatisan yang datang dari berbagai wilayah, khususnya surabaya dan madura.
Share:

Minggu, 22 April 2018

Manaqib Syeikh Abdurrahman Siddiq Al-banjari

Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Afif adalah seorang ulama besar yang menyebarkan agama Islam di beberapa tempat di nusantara. Bahkan nama Syekh Abdurrahman Siddiq begitu dikenal di Riau maupun di Martapura, Kalimantan Selatan tempat kelahirannya.

Syekh Abdurrahman Siddiq juga dikenal sebagai salah satu pengajar di Masjidil Haram, Arab Saudi. Abdurrahman demikian nama kecil ulama ini yang dilahirkan pada 1857 di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan.

Nama Siddiq beliau dapat dari seorang gurunya saat belajar di Mekkah. Beliau merupakan cicit dari ulama ternama asal Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Saat baru berusia tiga bulan, ibunda Abdurrahman Siddiq meninggal dunia. Beliau kemudian dirawat kakek dan neneknya.

Namun baru diusia setahun, sang kakek meninggal. Maka Abdurrahman Siddiq pun tumbuh dewasa hanya bersama neneknya, Ummu Salamah. Dalam usia 8 tahun dia sudah khatam membaca Alquran.

Beranjak dewasa, sang nenek mengirimnya pada guru-guru agama baik di kampung halamannya hingga ke Padang, Sumatera Barat.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Padang pada 1882, beliau menuntut ilmu ke Mekkah pada 1887 selama tujuh tahun.

Di tanah suci, Abdurrahman Siddiq banyak belajar dari para ulama ternama seperti Syekh Mufti Said Zaini Dahlan, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Bahri Shatho dan Syekh M Said Babasil.

Setelah tujuh tahun Abdurrahman belajar di Mekkah dua tahun sesudahnya beliau diberi kepercayaan menjadi pengajar di Masjidil Haram. Kemudian beliau diberi gelar oleh gurunya Siddiq, yang artinya benar ilmunya benar amalnya.

Abdurrahman Siddiq kemudian kembali ke kampung halamannya di Kalimantan. Lalu dari Kalimantan beliau merantau ke Sumatera.

Pada 1898, Syekh Abdurrahman bermukim di Bangka untuk mengembangkan ilmunya, berdakwah sambil memulai menulis kitab.

Pada suatu kesempatan, ketika Syekh Abdurrahman berkunjung ke Singapura, beliau bertemu dengan Haji Muhammad Arsyad, saudagar kaya asal Banjar yang bermukim di Indragiri.

Muhammad Arsyad inilah yang memohon agar Syekh Abdurrahman bersedia bermukim di Indragiri untuk menjadi pembimbing rohani masyarakat di sana. Sebelum pindah ke Indragiri, Syekh Abdurrahman sempat merantau ke Batavia Ketika di sana beliau ditawarkan menjabat sebagai mufti di Batavia karena ketinggian ilmu yang dimiliki (Jakarta sekarang) menggantikan mufti Said Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya, namun dia menolak.

Saat di Kesultanan Johor Malaysia Abdurrahman juga sempat ditawarkan menjadi mufti namun juga ditolaknya.

Lalu beliau merantau ke Riau tapi karena terlalu jauh dengan pusat pemerintahan yang ketika itu berkedudukan di Rengat, beliau meneruskan perjalanan ke daerah Sapat yang merupakan pusat lalu-lintas dan perdagangan karena berada di muara Sungai Indragiri.

Abdurrahman Siddiq menetap di Sapat selama tujuh tahun berprofesi sebagai penjual emas sambil mengajar agama sesuai permintaan Haji Muhammad Arsyad. Ketika itu beliau dikenal dengan nama Tukang Emas Durahman.

Di Sapat, pernah terjadi peristiwa perselisihan pendapat antara dua kelompok masyarakat tentang perihal agama.

Karena kedua belah tak mau mengalah sementara tak ada orang yang dapat jadi penengah menyebabkan hampir terjadi pertumpahan darah. Tapi tukang Emas Durahman turun tangan menyelesaikan perselisihan yang terjadi.

Berbekal ilmu pengetahuannya, beliau menyelesaikan masalah itu berdasar dalil dari Alquran dan hadits serta penjelasan para ulama. Sejak itu, banyak orang belajar agama padanya. Disamping tetap melaksanakan pekerjaannya sebagai tukang emas, beliau juga membuka pengajian. Karena makin banyak murid, sementara rumah beliau di Sapat Hilir sudah tak muat. Beliau pun berpikir mencari tempat yang dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan dan pengembangan agama Islam. Lalu Sultan Mahmud Shah, penguasa Kesultanan Indragiri, meminta Abdurrahman Siddiq menjadi penasihat kerajaan soal agama dan ketatanegaraan (mufti) karena kemampuannya. beliau sempat menolak, tapi atas dasar pertimbangan yang matang untuk kemasalahan umat dan agama akhirnya menyetujui diangkat menjadi mufti kerajaan. Selama Syekh Abdurrahman Shiddiq menjabat sebagai mufti beliau tidak pernah menggunakan gaji jabatannya untuk dirinya. Gaji tersebut beliau bagikan kepada orang-orang yang memerlukannya, adapun untuk biaya hidup sekeluarga beliau dapat dari hasil kebun dan pertaniannya sendiri. Kehadiran Abdurrahman Siddiq di Indragiri telah membawa perubahan besar dalam berbagai bidang selain bidang agama Islam. Orang-orang Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan berdatangan ke daerah Indragiri Hilir. Mereka berani membuka hutan untuk perkebunan kelapa. Ini berkat usaha Syekh Abdurrahman Siddiq yang mempunyai karomah untuk mengusir atau menumbal makhluk-makhluk halus penunggu hutan-hutan di pedalaman Indragiri sebelum dijadikan kebun kelapa.

Abdurrahman Siddiq sendiri memiliki 120 baris atau 4.800 batang kelapa. Sebanyak 70 baris atau 2.800 batang dia wakafkan untuk kepentingan umat dan khususnya buat pendidikan. Pertama kali dibangunnya dari hasil kebun itu adalah masjid di sebelah rumah tempat tinggalnya, kemudian membangun madrasah serta tidak kurang seratus pondok di sekitar madrasah untuk para santeri tanpa dipungut bayaran. Bahkan beliau membantu keperluan hidup bagi santri yang tidak mampu, Abdurrahman Siddiq wafat pada 4 Sya'ban 1358 H bertepatan dengan 10 Maret 1939 M dalam usia 82 tahun. Beliau dimakamkan tidak jauh dari masjid yang dibinanya di Kampung Hidayat, Sapat Indragiri, Riau. Sebagai ulama besar, Beliau juga mengarang beberapa kitab dalam berbagai bidang, seperti tasawuf, tauhid, fiqh, sastra, sejarah dan lainnya. Diantara kitab hasil karya Syekh Ab caradurrahman Siddiq, Risalah Amal Ma'rifat (1329 M), Risalah fi Aqaidil Iman (1335 H), Asraris sholah min 'iddatul qutubul muktabarat. Mengingat Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjary.

Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Afif adalah seorang ulama besar yang menyebarkan agama Islam di beberapa tempat di nusantara. Bahkan nama Syekh Abdurrahman Siddiq begitu dikenal di Riau maupun di Martapura, Kalimantan Selatan tempat kelahirannya.

Syekh Abdurrahman Siddiq juga dikenal sebagai salah satu pengajar di Masjidil Haram, Arab Saudi. Abdurrahman demikian nama kecil ulama ini yang dilahirkan pada 1857 di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan.

Nama Siddiq beliau dapat dari seorang gurunya saat belajar di Mekkah. Beliau merupakan cicit dari ulama ternama asal Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Saat baru berusia tiga bulan, ibunda Abdurrahman Siddiq meninggal dunia. Beliau kemudian dirawat kakek dan neneknya.

Namun baru diusia setahun, sang kakek meninggal. Maka Abdurrahman Siddiq pun tumbuh dewasa hanya bersama neneknya, Ummu Salamah. Dalam usia 8 tahun dia sudah khatam membaca Alquran.

Beranjak dewasa, sang nenek mengirimnya pada guru-guru agama baik di kampung halamannya hingga ke Padang, Sumatera Barat.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Padang pada 1882, beliau menuntut ilmu ke Mekkah pada 1887 selama tujuh tahun.

Di tanah suci, Abdurrahman Siddiq banyak belajar dari para ulama ternama seperti Syekh Mufti Said Zaini Dahlan, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Bahri Shatho dan Syekh M Said Babasil.

Setelah tujuh tahun Abdurrahman belajar di Mekkah dua tahun sesudahnya beliau diberi kepercayaan menjadi pengajar di Masjidil Haram. Kemudian beliau diberi gelar oleh gurunya Siddiq, yang artinya benar ilmunya benar amalnya.

Abdurrahman Siddiq kemudian kembali ke kampung halamannya di Kalimantan. Lalu dari Kalimantan beliau merantau ke Sumatera.

Pada 1898, Syekh Abdurrahman bermukim di Bangka untuk mengembangkan ilmunya, berdakwah sambil memulai menulis kitab.

Pada suatu kesempatan, ketika Syekh Abdurrahman berkunjung ke Singapura, beliau bertemu dengan Haji Muhammad Arsyad, saudagar kaya asal Banjar yang bermukim di Indragiri.

Muhammad Arsyad inilah yang memohon agar Syekh Abdurrahman bersedia bermukim di Indragiri untuk menjadi pembimbing rohani masyarakat di sana. Sebelum pindah ke Indragiri, Syekh Abdurrahman sempat merantau ke Batavia Ketika di sana beliau ditawarkan menjabat sebagai mufti di Batavia karena ketinggian ilmu yang dimiliki (Jakarta sekarang) menggantikan mufti Said Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya, namun dia menolak.

Saat di Kesultanan Johor Malaysia Abdurrahman juga sempat ditawarkan menjadi mufti namun juga ditolaknya.

Lalu beliau merantau ke Riau tapi karena terlalu jauh dengan pusat pemerintahan yang ketika itu berkedudukan di Rengat, beliau meneruskan perjalanan ke daerah Sapat yang merupakan pusat lalu-lintas dan perdagangan karena berada di muara Sungai Indragiri.

Abdurrahman Siddiq menetap di Sapat selama tujuh tahun berprofesi sebagai penjual emas sambil mengajar agama sesuai permintaan Haji Muhammad Arsyad. Ketika itu beliau dikenal dengan nama Tukang Emas Durahman.

Di Sapat, pernah terjadi peristiwa perselisihan pendapat antara dua kelompok masyarakat tentang perihal agama.

Karena kedua belah tak mau mengalah sementara tak ada orang yang dapat jadi penengah menyebabkan hampir terjadi pertumpahan darah. Tapi tukang Emas Durahman turun tangan menyelesaikan perselisihan yang terjadi.

Berbekal ilmu pengetahuannya, beliau menyelesaikan masalah itu berdasar dalil dari Alquran dan hadits serta penjelasan para ulama. Sejak itu, banyak orang belajar agama padanya. Disamping tetap melaksanakan pekerjaannya sebagai tukang emas, beliau juga membuka pengajian. Karena makin banyak murid, sementara rumah beliau di Sapat Hilir sudah tak muat. Beliau pun berpikir mencari tempat yang dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan dan pengembangan agama Islam. Lalu Sultan Mahmud Shah, penguasa Kesultanan Indragiri, meminta Abdurrahman Siddiq menjadi penasihat kerajaan soal agama dan ketatanegaraan (mufti) karena kemampuannya. beliau sempat menolak, tapi atas dasar pertimbangan yang matang untuk kemasalahan umat dan agama akhirnya menyetujui diangkat menjadi mufti kerajaan. Selama Syekh Abdurrahman Shiddiq menjabat sebagai mufti beliau tidak pernah menggunakan gaji jabatannya untuk dirinya. Gaji tersebut beliau bagikan kepada orang-orang yang memerlukannya, adapun untuk biaya hidup sekeluarga beliau dapat dari hasil kebun dan pertaniannya sendiri. Kehadiran Abdurrahman Siddiq di Indragiri telah membawa perubahan besar dalam berbagai bidang selain bidang agama Islam. Orang-orang Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan berdatangan ke daerah Indragiri Hilir. Mereka berani membuka hutan untuk perkebunan kelapa. Ini berkat usaha Syekh Abdurrahman Siddiq yang mempunyai karomah untuk mengusir atau menumbal makhluk-makhluk halus penunggu hutan-hutan di pedalaman Indragiri sebelum dijadikan kebun kelapa.

Abdurrahman Siddiq sendiri memiliki 120 baris atau 4.800 batang kelapa. Sebanyak 70 baris atau 2.800 batang dia wakafkan untuk kepentingan umat dan khususnya buat pendidikan. Pertama kali dibangunnya dari hasil kebun itu adalah masjid di sebelah rumah tempat tinggalnya, kemudian membangun madrasah serta tidak kurang seratus pondok di sekitar madrasah untuk para santri tanpa dipungut bayaran. Bahkan beliau membantu keperluan hidup bagi santri yang tidak mampu,

Abdurrahman Siddiq wafat pada 4 Sya'ban 1358 H bertepatan dengan 10 Maret 1939 M dalam usia 82 tahun. Beliau dimakamkan tidak jauh dari masjid yang dibinanya di Kampung Hidayat, Sapat Indragiri, Riau. Sebagai ulama besar, Beliau juga mengarang beberapa kitab dalam berbagai bidang, seperti tasawuf, tauhid, fiqh, sastra, sejarah dan lainnya. Diantara kitab hasil karya Syekh Abdurrahman Siddiq, Risalah Amal Ma'rifat (1329 M), Risalah fi Aqaidil Iman (1335 H), Asraris sholah min 'iddatul qutubul muktabarat.

Di Copaste Dari Akun Fb: [ Abu Alwi ]
Share:

Selasa, 17 April 2018

Ketika Allah Menitipkan Anak Perempuan

Oleh: Putri Meilani

Bagi setiap muslim, anak merupakan perhiasan yang sangat berharga. Sebab, anak merupakan titipan Allah SWT yang harus dijaga, dididik, dan dipertanggung jawabkan. Oleh karena anak merupakan titipan Allah SWT, ganjaran besar pun akan diberikan kepada orang tua yang bisa mendidik anaknya menjadi sholeh-sholehah.

“Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rosul dan janganlah kamu mengkhianati amanah amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sabagai cobaan dan sesungguhnya disisi Allah-lah pahala yang besar.”( Al-anfaal : 27-28)

Sebelum islam datang, masyarakat jahiliah bersikap diskriminatif antara anak laki-laki dan perempuan. Bagi mereka kelahiran anak laki-laki merupakan suatu kebanggaan dan kemuliaan. Sebaliknya kelahiran anak perempuan hanyalah sebagai aib dan musibah. Maka tak sedikit bayi perempuan yang baru lahir dibunuh atau dikubur hidup-hidup oleh orang tuanya.

“Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah(merah padamlah) muka mereka, dan dia sangat marah, ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburnya kedalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yag mereka tetapkan” ( QS An Nahl : 58)

Setelah islam datang, anak perempuan yang semulanya dipandang sebelah mata berubah menjadi suatu kemuliaan. Secara khusus Allah SWT memberikan keutamaan bagi orang tua yang mampuh diamanahi anak perempuan. Dalam hadits Rosulullah Sholalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

Dari Aisyah Rodhiyallahu Anhaa, dari Rosulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam beliau telah bersabda

“Barang siapa yang menanggung suatu urusan menjaga dan memelihara anak-anak perempuan’ lalu ia menjaga dan memeliharanya dengan baik, niscaya mereka akan menjadi pelindung baginya dari api neraka.” (H.R Bukhori, Muslim dan Tirmidzi).

Dalam hadits lain Anas bin Malik rodhiyallahu Anhu, dia berkata bahwa Rosulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barang siapa yang memelihara anak perempuan hingga dewasa, maka ia akan datang pada hari kiamat bersamaku” (Anas bin Malik berkata : nabi menggabungkan jari- jemari beliau). (H.R Muslim).

Hadits tersebut merupakaan salah satu dari keutamaan memiliki anak perempuan serta mampu mendidiknya. Hal ini tentu merupakan kabar gembira bagi setiap orang tua. Dan menjadi bukti bahwa persepsi masyarakat jahiliah yang tanpa dasar itu  hanyalah fiktif belaka.

Selanjutnya tergantung orang tua yang diamanahi, apakah mampu atau tidak untuk mendidiknya. Jika mampu maka janji Allah mudah baginya memperoleh syurga. Jika tidak mampu, maka bisa dipastikan sesuatu yang diamanahi tersebut hanya sebagai fitnah dan bisa menjerumuskan orang tua tersebut ke dalam neraka.

Sumber Tulisan: [ www.voa-islam.com ]
Share:

Minggu, 15 April 2018

Kisah Panglima Perang Yang Dipecat Karena Tidak Pernah Berbuat Kesalahan

Pada zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khatab, ada seorang panglima perang yang disegani lawan dan dicintai kawan. Panglima perang yang tak pernah kalah sepanjang karirnya memimpin tentara di medan perang. Baik pada saat beliau masih menjadi panglima Quraish, maupun setelah beliau masuk Islam dan menjadi panglima perang umat muslim. Beliau adalah Jenderal Khalid bin Walid.

Namanya harum dimana-mana. Semua orang memujinya dan mengelu-elukannya. Kemana beliau pergi selalu disambut dengan teriakan, "Hidup Khalid, hidup Jenderal, hidup Panglima Perang, hidup Pedang Allah yang Terhunus." Ya!.. beliau mendapat gelar langsung dari Rasulullah shalallaahu 'alaihi wasallam yang menyebutnya sebagai "Pedang Allah yang Terhunus".

Dalam suatu peperangan beliau pernah mengalahkan pasukan tentara Byzantium dengan jumlah pasukan 240.000. Padahal pasukan muslim yang dipimpinnya saat itu hanya berjumlah 46.000 orang. Dengan kejeliannya mengatur strategi, pertempuran itu bisa dimenangkannya dengan mudah. Pasukan musuh lari terbirit-birit.

Itulah Khalid bin Walid, beliau bahkan tak gentar sedikitpun menghadapi lawan yang jauh lebih banyak.

Ada satu kisah menarik dari Khalid bin Walid. Dia memang sangat sempurna di bidangnya; ahli siasat perang, mahir segala senjata, piawai dalam berkuda, dan karismatik di tengah prajuritnya. Dia juga tidak sombong dan lapang dada walaupun dia berada dalam puncak popularitas.

Pada suatu ketika, di saat beliau sedang berada di garis depan, memimpin peperangan, tiba-tiba datang seorang utusan dari Amirul mukminin, Syaidina Umar bin Khatab, yang mengantarkan sebuah surat. Di dalam surat tersebut tertulis pesan singkat, "Dengan ini saya nyatakan Jenderal Khalid bin Walid di pecat sebagai panglima perang. Segera menghadap"

Menerima khabar tersebut tentu saja sang jenderal sangat gusar hingga tak bisa tidur. Beliau terus-menerus memikirkan alasan pemecatannya. Kesalahan apa yang telah saya lakukan? Kira-kira begitulah yang berkecamuk di dalam pikiran beliau kala itu.

Sebagai prajurit yang baik, taat pada atasan, beliaupun segera bersiap menghadap Khalifah Umar Bin Khatab. Sebelum berangkat beliau menyerahkan komando perang kepada penggantinya.

Sesampai di depan Umar beliau memberikan salam, "Assalamualaikum ya Amirul mukminin! Langsung saja! Saya menerima surat pemecatan. Apa betul saya di pecat?"

"Waalaikumsalam warahmatullah! Betul Khalid!" Jawab Khalifah.

"Kalau masalah dipecat itu hak Anda sebagai pemimpin. Tapi, kalau boleh tahu, kesalahan saya apa?"

"Kamu tidak punya kesalahan."

"Kalau tidak punya kesalahan kenapa saya dipecat? Apa saya tak mampu menjadi panglima?"

"Pada zaman ini kamu adalah panglima terbaik."

"Lalu kenapa saya dipecat?" tanya Jenderal Khalid yang tak bisa menahan rasa penasarannya.

Dengan tenang Khalifah Umar bin Khatab menjawab, "Khalid, engkau jenderal terbaik, panglima perang terhebat. Ratusan peperangan telah kau pimpin, dan tak pernah satu kalipun kalah. Setiap hari Masyarakat dan prajurit selalu menyanjungmu. Tak pernah saya mendengar orang menjelek-jelekkan. Tapi, ingat Khalid, kau juga adalah manusia biasa. Terlalu banyak orang yang memuji bukan tidak mungkin akan timbul rasa sombong dalam hatimu. Sedangkan Allah sangat membenci orang yang memiliki rasa sombong''.

''Seberat debu rasa sombong di dalam hati maka neraka jahanamlah tempatmu. Karena itu, maafkan aku wahai saudaraku, untuk menjagamu terpaksa saat ini kau saya pecat. Supaya engkau tahu, jangankan di hadapan Allah, di depan Umar saja kau tak bisa berbuat apa-apa!"

Mendengar jawaban itu, Jenderal Khalid tertegun, bergetar, dan goyah. Dan dengan segenap kekuatan yang ada beliau langsung mendekap Khalifah Umar.

Sambil menangis beliau berbisik, "Terima kasih ya Khalifah. Engkau saudaraku!"

Bayangkan.. mengucapkan terima kasih setelah dipecat, padahal beliau tak berbuat kesalahan apapun. Adakah pejabat penting saat ini yang mampu berlaku mulia seperti itu? Yang banyak terjadi justru melakukan perlawanan, mempertahankan jabatan mati-matian, mencari dukungan, mencari teman, mencari pembenaran, atau mencari kesalahan orang lain supaya kesalahannya tertutupi.

Jangankan dipecat dari jabatan yang sangat bergengsi, 'kegagalan' atau keterhambatan dalam perjalanan karir pun seringkali tidak bisa diterima dengan lapang dada. Akhirnya semua disalahkan, sistem disalahkan, orang lain disalahkan, semua digugat.. bahkan hingga yang paling ekstrim.. Tuhan pun digugat..

Kembali ke Khalid bin Walid, hebatnya lagi, setelah dipecat beliau balik lagi ke medan perang. Tapi, tidak lagi sebagai panglima perang. Beliau bertempur sebagai prajurit biasa, sebagai bawahan, dipimpin oleh mantan bawahannya kemarin.

Beberapa orang prajurit terheran-heran melihat mantan panglima yang gagah berani tersebut masih mau ikut ambil bagian dalam peperangan. Padahal sudah dipecat. Lalu, ada diantara mereka yang bertanya, "Ya Jenderal, mengapa Anda masih mau berperang? Padahal Anda sudah dipecat."

Dengan tenang Khalid bin Walid menjawab, "Saya berperang bukan karena jabatan, popularitas, bukan juga karena Khalifah Umar. Saya berperang semata-mata karena mencari keridhaan Allah"

Sebuah cuplikan kisah yang sangat indah dari seorang Jenderal, panglima perang, ''Pedang Allah yang Terhunus''

Sumber Fp: Cerita Para Wali
Share:

Syeikh Ahmad Khotib Sambas Guru Para Ulama Nusantara

Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah seorang ulama yang mendirikan perkumpulan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Perkumpulan Tarekat ini merupakan penyatuan dan pengembangan terhadap metode dua Tarekat sufi besar. yakni Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah.

Syekh Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat, pada bulan shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib terlahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange’. Pada masa-masa tersebut, tradisi merantau (nomaden) memang masih menjadi bagian cara hidup masyarakat di Kalimantan Barat.

Ahmad Khatib Sambas menjalani masa-masa kecil dan masa remajanya. Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.

Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu keagamaan, Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya Mekkah. Maka pada tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan dahaga keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas memutuskan menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M.

Guru-gurunya:
1. H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.
2. Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
3. Syekh Daud Bin Abdullah Al Fatani (ulama asal Patani Thailand Selatan yang bermukim di Mekkah)
4. Syekh Abdusshomad Al Palimbani (ulama asal Palembang yang bermukim di Mekkah)
5. Syeikh Abdul hafidzz al-Ajami
6. Syekh Ahmad al-Marzuqi
7. Syekh Syamsudin, mursyid tarekat Qadiriyah yang tinggal dan mengajar di Jabal Qubays Mekkah.

Ketika kemudian Ahmad Khatib telah menjadi seorang ulama, ia pun memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan kehidupan keagamaan di Nusantara, meskipun sejak kepergiannya ke tanah suci, ia tidaklah pernah kembali lagi ke tanah air.

Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syeikh Sambas, demikian para ulama menyebutnya kemudian, melalui ajaran-ajarannya setelah mereka kembali dari Makkah. Syeikh Sambas merupakan ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir, termasuk Syeikh Nawawi al-Bantani adalah salah seorang di antara murid-murid Beliau yang berhasil menjadi ulama termasyhur.

Salah satunya adalah Syeikh Abdul Karim Banten yang terkenal sebagai Sulthanus Syeikh. Ulama ini terkenal keras dalam imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan mengobarkan pemberontakan yang terkenal sebagai pemberontakan Petani Banten. Namun sayang, perjuangan fisiknya ini gagal, kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syeikh Ahmad Khatib Sambas.

Syeikh Ahmad Khatob Sambas dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan para Syeikh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah bin Muhammad dari Madura, keduanya pernah menetap di Makkah.

Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, ketika mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Sambas adalah sebagai seorang Ulama (dalam asti intelektual), yan g juga sebagai seorang sufi (dalam arti pemuka thariqat) serta seorang pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara.

Hal ini dikarenakan perkumpulan Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah yang didirikannya, telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.

Peranan Dan Karyanya

Perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yang dipimpin oleh Syeikh Guru Bangkol juga merupakan bukti yang melengkapi pemberontakan petani Banten, bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Belanda juga dipicu oleh keikutsertaan mereka pada perkumpulan Thariqoh yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini.

Thariqat Qadiriyyah wan Naqshabandiyyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia, terutama dalam membantu membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan semata karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari Nusantara, tetapi bahwa para pengikut kedua Thariqat ini adalah para pejuang yang dengan gigih senantiasa mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.

Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karyanya berupa kitab FATHUL ARIFIN nang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tanggal tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir, muqarobah dan silsilah Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah.

Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan pengikut Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan khusus mereka. Dengan demikian maka tentu saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas selalu dikenang dan di panjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut Thariqah ini.

Walaupun Syeikh Ahmad Khatib Sambas termasyhur sebagai seorang tokoh sufi, namun Beliau juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang berupa manusrkip risalah Jum’at. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, bekas koleksi Haji Manshur yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama penulis asal tanah Melayu. Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam.

Pada bagian akhir naskah manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini ditutup dengan beberapa amalan wirid Beliau selain amalan Tariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah.

Karya lain (juga berupa manuskrip) membicarakan tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan penyelenggaraan jenazah ditemukan di Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6 Syawal 1422 H/20 Disember 2001 M. karya ini berupa manuskrip tanpa tahun, hanya terdapat tahun penyalinan dinyatakan yang menyatakan disalin pada hari kamis, 11 Muharam 1281 H. oleh Haji Ahmad bin Penggawa Nashir.

Sedangkan mengenai masa hidupnya, sekurang-kurangnya terdapat dua buah kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh orang Arab, menceritakan kisah ulama-ulama Mekah, termasuk di dalamnya adalah nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Kitab yang pertama, Siyar wa Tarajim, karya Umar Abdul Jabbar. Kitab kedua, Al-Mukhtashar min Kitab Nasyrin Naur waz Zahar, karya Abdullah Mirdad Abul Khair yang diringkaskan oleh Muhammad Sa'id al-'Amudi dan Ahmad Ali.

Murid-Muridnya Antara Lain:
1. Syekh Nawawi Al Bantani
2. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan Madura
3. Syekh Abdul Karim Banten
4. Syekh Tolhah Cirebon

Syekh Nawawi Al Bantani dan Syekh Muhammad Kholil selain berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas juga berguru kepada Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mufti mazhab Syafii di Masjidil Haram Mekkah.

Sepeninggal Syekh Ahmad Khatib Sambas, Imam Nawawi Al Bantani ditunjuk meneruskan mengajar di Madrasah beliau di Mekkah tapi tidak diberi hak membaiat murid dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Sedangkan Syekh Muhammad Kholil, Syekh Abdul Karim dan Syekh Tolhah diperintahkan pulang ke tanah Jawa dan ditunjuk sebagai Khalifah yang berhak menyebarkan dan membaiat murid dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Murid murid Syekh Ahmad Khatib Sambas diatas adalah guru para Ulama-Ulama Nusantara generasi berikutnya yang dikemudian hari menjadi ulama yang mendirikan pondok pesantren dan biasa dipanggil dan digelari sebagai KYAI, Tuan Guru, Ajengan, dsb.

Sebagai contoh, Syekh Muhammad Kholil Bangkalan Madura mempunyai murid-murid antara lain:

1. KH. Hasyim Asy’ar : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
2. KHR. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri.
3. KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971).
4. KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
5. KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah
6. KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul “Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.
7. KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
8. KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.
9. KH. Zaini Mun’im : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah.
10. KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.
11. KH. Asy’ari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.
12. KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.
13. KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.
14. KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
15. KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
16. KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
17. KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
18. KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
19. KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
20. KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
21. KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.
22. KH. Abdul Hadi : Lamongan.
23. KH. Zainudin : Nganjuk
24. KH. Maksum : Lasem
25. KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung
26. KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
27. KH. Munajad : Kertosono
28. KH. Romli Tamim : Rejoso jombang
29. KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang
30. KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura
31. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi
32. KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
33. KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso
34. KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat
35. KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik
36. KH. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.

Di Copast Dari Fp: Pecinta Ulama Nusantara
Share:

Kamis, 12 April 2018

Mengenal Waliyullah Jadab Ra Lilur Dan Beberapa Karomahnya

Ra Lilur, demikian orang dengan akrab memanggilnya.

Beliau seringkali dianggap oleh masyarakat sebagai Waliyullah Jadab oleh masyarakat sekitar di Bangkalan, Madura. Bernama asli KH. Kholilurrahman yang merupakan cicit dari KH Syaikhona Mohammad Kholil bin Abdul Latif (akrab dipanggilan Syaikhona Kholil).

Sebutan Ra merupakan kependekan Lora atau semacam Gusdalam bahasa Jawa untuk menyebutkan anak dari seorang Kyai. Tubuhnya yang sudah tua namun terlihat nyentrik, aneh dan kadang tidak masuk akal pikiran. Nah berikut beberapa karomah beliau yang KHS himpun dari berbagai sumber terutama Harian Bangsa dengan kolom khususnya.

Sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa dalam terminologi ilmu sufi ada empat jenis keistimewaan yang diberikan kepada manusia.

Pertama Mukjizat: Mukjizat ini hanya diberikan kepada para Nabi. Seperti kita pahami, bentuk mukjizat bermacam-macam. Umumnya tak masuk akal. Misalnya, dari jari Nabi Muhammad S.aw. tiba-tiba bisa memancar air, bisa membelah bulan dan sebagainya.

Kedua Karomah: Karamah ini diberikan kepada manusia istimewa di bawah Nabi. Jadi diberikan kepada orang tertentu yang memang disayang Tuhan. Karena itu mereka disebut wali (kekasih Allah). Wali sebenarnya tak bisa dideteksi. Bahkan dalam ajaran sufi disebutkan bahwa tak ada yang bisa mengetahui wali kecuali sesama wali. Karena itu kalau tiba-tiba ada orang mengaku wali patut diragukan.

Ketiga Mau’nah: Yaitu keistimewaan untuk orang biasa. Jadi orang biasa, tapi punya keistimewaan tertentu. Misalnya, bisa terbang atau sejenisnya.

Keempat istidraj: Keistimewaan ini diberikan kepada orang-orang yang menentang Allah. Jadi orang-orang yang sesat pun oleh Allah diberi keistimewaan. Hanya saja keistimewaan itu hakikatnya sekedar untuk memanjakan mereka (me-lulu-bahasa Jawa). Karena kelak di akhirat ia akan disiksa habis-habisan.

Nah terkait Ra Lilur ini memang Wallahu’alam namun masyarakat meyakini bahwa beliau menuju proses menjadi Wali atau Waliyullah Jadab Majedub (suatu tahapan untuk mencapai tingkat karamah (keistimewaan) yang biasanya disebut wali) dengan segala keanehan, dan hal-hal diluar nalar yang lain.

Buktinya, ia sudah tak peduli masalah duniawi. Penampilannya yang sangat bersahaja, Ia total kepada Allah melalui proses spiritual kontroversial. Diantaranya berendam di air laut siang malam. Maka mudah dipahami jika ia memiliki mukasafah (kemampuan meneropong masalah yang akan terjadi) cukup tinggi. Bahkan untuk melihat peristiwa yang akan terjadi pada masa datang seolah melihat di balik tirai saja.

Banyak orang yang antri untuk menemuinya untuk mendapatkan karomahnya mulai dari petinggi negeri ini, pejabat, ulama hingga rakyat biasa namun semuanya tidak serta merta ditemuinya karena sifatnya yang ‘aneh’ tersebut. “Tamunya beragam, tapi jangan kaget kalau tak kesokan (tidak mau,red), beliau tak mau menemuinya,” tegas KH Badrus Sholeh, salah seorang ulama Bangkalan bercerita soal kenyelenehan cicit ulama Bangkalan, KH Syaikhona Mohammad Kholil bin Abdul Latif ini.

Beragam sikap nyeleneh diantaranya adalah membakar pondok pesantren, naik mobil tanpa bensin, menyiapkan hidangan makan secepat kilat, berendam di laut serta memberi pil mencret untuk orang yang kehilangan sapi serta beragam lelaku lain yang kadang tidak masuk akal namun akhirnya terbukti dikemudian hari.

Berikut beberapa kisah karomah Ra Lilur

Naik Kendaraan Keliling Surabaya Tanpa Bensin

Keanehan yang ditunjukkan oleh Ra Lilur memang seolah tak pernah habis. Orang-orang yang pernah menyaksikan langsung perilaku Ra Lilur selalu dibuat geleng-geleng kepala. Maklum, banyak peristiwa tak masuk akal, namun terjadi secara nyata. Suatu ketika, Ra Lilur memanggil ajudan kepercayaannya, H. Husni Madani. Saat cicit Syaikhona Kholil Bangkalan itu minta agar Husni menemaninya jalan-jalan di Surabaya. Permintaan itu langsung diiyakan.

Berikutnya, Ra Lilur minta agar ajudannya menyewa sebuah mobil berikut sopirnya. Setelah rampung, keduanya berangkat ke Surabaya. Anehnya, ketika sang sopir hendak mengisi bensin, Ra Lilur melarang. “Sudah tak usah isi bensin,” kata Ra Lilur. Karena tahu siapa Ra Lilur sebenarnya, sang sopir langsung tancap gas menyeberangi Selat Madura. Ia melesat ke Surabaya. Di kota pahlawan ini sehari penuh kendaraan yang ditumpangi Ra Lilur melaju. Tapi uniknya, tak sedikitpun jarum spido penunjuk bensin turun.

“Sepanjang jalan saya terus mengawasi jarum penunjuk bensin. Tapi bensinnya tetap penuh. Saya jadi heran, lha wong bensin tidak diisi sama sekali, tapi tidak habis,” tutur Husni heran. Uniknya lagi, ketika kembali ke Desa Banjar Galis, Bangkalan Madura, tangki bensin tetap tidak berubah alias full tang. “Kalau dipikir, bahan bakar kendaraan itu siapa yang ngisi ya,” kata ajudan kepercayaan kiai jadab ini.

Kejadian seperti itu sering disaksikan Husni. Pernah suatu ketika Ra Lilur mengajak Husni keliling Kabupaten Bangkalan. Saat itu, Ra Lilur menyewa sebuah mobil pick up. Sang sopir diminta untuk menuruti permintaannya. Seperti halnya kejadian yang lalu, ketika sang sopir hendak mengisi bahan bakar, Ra Lilur melarang. Lagi-lagi orang yang mengikuti perjalanan kiai kasaf ini terheran-heran. Karena sejak berangkat hingga pulang bensinnya tetap pada posisi awal.

Main Drama, Ada di Dua Tempat dalam Waktu Sama

Namun ada yang lebih unik lagi dibalik peristiwa itu. Ceritanya begini. Salah seorang kiai tidak bisa pada undangan Ra Lilur di resepsi anak Husni itu. Keesokan harinya, sang kiai datang ke rumah tuan rumah (H. Husni Madani) untuk minta maaf karena tidak bisa hadir dalam pesta pernikahan anaknya. Lho, kenapa? Inilah yang ajaib. Ternyata kiai tersebut mengaku tidak bisa hadir karena kedatangan Ra Lilur ke rumahnya. Padahal 300 kiai yang diundang menyaksikan bahwa Ra Lilur sedang pentas main drama.

“Saya heran, lha wong pada malam itu bersama saya, tapi ternyata ada seorang kiai yang mengatakan Ra Lilur sedang bertamu ke rumahnya,” kata Husni. Kejadian serupa juga terjadi pada salah seorang kerabat Husni di Jakarta. Itu terjadi saat acara haul KH. Amin Imron. Pada acara tersebut, tiba-tiba Ra Lilur datang dan mengikuti acara tersebut. Kontan saja tuan rumah keheranan melihat kehadiran kiai yang jarang muncul di depan publik itu.

Tak hanya itu, Ra Lilur juga bertanya kepada tuan rumah soal foto dirinya yang dipajang didalam kamar. “Mana foto saya yang dipajang di dalam kamar,” sergah Ra Lilur seperti ditirukan Husni. Padahal, sebelumnya Ra Lilur tidak pernah sowan ke rumah kerabat Husni itu. Yang mengherankan Husni, karena ketika Ra Lilur dikabarkan ada di Jakarta menghadiri acara haul itu, sebenarnya kiai aneh itu berada di ndalem (sebutan rumah kiai) di Desa Banjar Galis. Ini berarti, lagi-lagi Ra Lilur berada di dua tempat dalam waktu bersamaan.

Tubuh Ra Lilur terjaring nelayan di laut

Suatu ketika pernah terjadi peristiwa menarik yang dialami para nelayan ikan. Kala itu seorang nelayan di Kecamatan Sepulu sontak kaget. Karena jaring yang ia tebar di tengah laut tiba-tiba terasa berat ketika diangkat. Dengan harap-harap cemas ia menarik jaringnya. Dalam pikirannya, ini pasti ikan besar. Namun betapa ia tertegun begitu jaring itu berhasil diangkat ke atas. Masyaallah, ternyata bukan ikan, melainkan tubuh manusia. Yang lebih mengagetkan lagi, ternyata tubuh itu adalah tubuh Ra Lilur yang sedang membujur. Kontan nelayan itu menceburkan kembali tubuh Ra Lilur ke laut.

Si nelayan terus tertegun. Ia tak habis pikir. Bagaimana mungkin tubuh manusia berendam dalam air sekian lama, apalagi itu jelas tubuh Ra Lilur. Sejenak ia sempat menduga, jangan-jangan Ra Lilur telah meninggal karena tenggelam di laut. Tapi dugaan nelayan itu meleset. Karena Ra Lilur sehat wal-afiat, tubuhnya tetap segar bugar sampai kini.

Menyaksikan kenyataan itu si nelayan semakin percaya betapa Ra Lilur itu waliyullah (kekasih Allah). Apalagi, sejak peristiwa itu hasil tangkapan nelayan tersebut langsung melimpah. Bahkan, setiap kali turun melaut, hasil tangkapannya lebih banyak dari pada nelayan lainnya. Ia pun yakin bahwa dirinya telah mendapat barakah. Yakni terus bertambahnya kebaikan. Bukankah sebagian orang menyebut barakah sebagai zidayatul khoir (semakin bertambahnya kebaikan)?

Warga menemukan sapinya yang hilang setelah diberi obat mencret Ra Lilur

Perilaku aneh Ra Lilur tidak hanya terjadi pada persoalan-persoalan negara, tapi juga berkaitan dengan orang kampung. Suatu ketika seorang penduduk di desa terpencil kehilangan sapi. Ia sedih karena sapi itu merupakan satu-satunya harta yang paling berharga bagi keluarganya.

Karena ingin sapinya kembali, dia sowan ke kediaman Ra Lilur. Maksudnya untuk minta barokah agar sapinya bisa kembali lagi. Kebetulan waktu itu Ra Lilur sedang berada di rumah. Ia langsung ditemui oleh kiai nyentrik itu. Padahal, tamu yang hendak sowan ke Ra Lilur, biasanya baru bisa ketemu minimal setelah tiga kali sowan. Tapi, kali ini aneh. Ra Lilur malah dengan senang hati membantu orang yang malang itu. Lalu apa yang dilakukan Ra Lilur ketika diminta barokah agar sapi orang itu kembali lagi? Lagi-lagi Ra Lilur bertindak tak masuk akal.

Warga yang kehilangan seekor sapi itu diberi pil mencret atau murus. Tentu saja orang itu bingung dan dongkol. “Orang kehilangan sapi kok diberi obat murus. Ini sungguh tak masuk akal,” kata orang yang kehilangan sapi itu tak habis pikir. Namun sebelum pulang pil itu tetap diminum sesuai petunjuk Ra Lilur. Meski demikian ia tetap saja pikirannya tak bisa menerima.

Ia kemudian pulang. Di tengah perjalanan menuju rumahnya, tiba-tiba perutnya mules. Tanpa pikir panjang ia lantas pergi ke sungai untuk membuang hajat. Ajaib, ternyata setelah buang hajat, dia melihat beberapa ekor sapi ditambatkan di semak-semak di sekitar sungai itu. Ketika diperiksa, salah satu sapi yang ditambatkan itu adalah miliknya. Ia girang bukan main. Namun di balik kegirangan itu ia juga merasa berdosa. Ia gelo karena hatinya sempat dongkol pada Ra Lilur ketika diberi obat murus.

Pengusaha Besi Kapok Datang, Rugi Rp 100 Juta, Ayah Mati

Banyak cerita menarik yang dialami Habib Ali Zainal Bin Anis Al Muchdor ketika berkunjung ke kediaman Ra Lilur di Tanah Merah Bangkalan Madura. “Waktu itu saya melihat pakaian Ra Lilur yang sederhana. Saya lantas ingat satu hadits yang mengatakan agar hati-hati terhadap orang yang berpakaian compang-camping. Karena orang itu mulya di sisi Allah. Uniknya, seketika itu Ra Lilur menjawab Salallahalaihi Muhammad,” tutur Habib. Sontak Habib takdim kepada Ra Lilur. Karena apa yang ada dalam hati Habib, ternyata Ra Lilur tahu.

Tak lama kemudian Ra Lilur bertanya kenapa seorang pengusaha besi tua bernama H. Hasan yang tinggal di Cililitan Jakarta tak pernah datang lagi kepadanya. Habib Ali menjawab mungkin sudah jera karena banyak pengalaman pahit yang dialami ketika datang ke Ra Lilur. Menurut Habib, Hasan pernah mengalami tekanan ekonomi. Karena ia mendengar kejadian-kejadian aneh yang dialami Habib bersama Ra Lilur, ia kemudian memutuskan datang kepada kiai jadab itu.

Ia minta do’a kepada Ra Lilur. Ia berharap, cicit Syaikhona Kholil Bangkalan itu, mau mendo’akan, agar usahanya tetap langgeng. Begitu juga kalau ada job baru sukses.

Singkat cerita, setibanya di rumah sang kiai, segera ia disambut ajudan sekaligus dihadapkan kepada Ra Lilur. Hasan lantas menceritakan masalahnya. Ra Lilur mendengar semua cerita Hasan. Namun yang membuat Hasan tak habis pikir, ketika hendak pulang, ia diberi obat sakit kepala Paramex.

Tentu ia bertanya-tanya dalam hati. Dengan diliputi tanda tanya, Hasan pulang ke rumahnya di Jakarta. “Di dalam bus, saya terus mikir. Mau diapakan obat ini. Kenapa pula kiai memberi saya ini,” gumam Hasan seperti ditirukan Habib.

Seminggu kemudian, H. Hasan ternyata tertimpa musibah. Usahanya rugi Rp 100 juta. “Mati aku. Rupanya itu maksud kiai memberi obat,” kata Hasan tersenyum kecut. Sebulan kemudian, di rumahnya, telepon H. Hasan mendadak berdering. Telepon itu dari saudaranya di Tanah Merah, Madura. Ia mengabarkan bahwa abahnya (ayah), yang murid Habib Sholeh Tanggul, Jember, sakit keras. Dilanda rasa gundah tak terkira, ia pun pergi menemui abahnya.

Abahnya terbaring sakit di atas pembaringan. Ia lantas menemui guru abahnya, yaitu Habib Sholeh Tanggul, H. Hasan diminta membawa tasbih. Menurut Habib Sholeh, tasbih itu, selain untuk wirid juga sangat manjur untuk mengobati orang sakit. Sesuai dengan pesan guru, tasbih itu dicelupkan ke dalam segelas air. Selanjutnya, air bekas celupan itu diminumkan kepada orang yang sakit. Semula, penyakit itu memang berkurang. Badan abahnya sedikit enakan. Tapi itu tidak berlangsung lama. Beberapa waktu kemudian, bapaknya kembali jatuh sakit. H. Hasan pun segera beranjak pergi meminta do’a kepada Ra Lilur.

Yang tak membuat H. Hasan heran lagi, ketika Ra Lilur, memberinya kapas, berikut minyak telon. Itu diberikan ketika H. Hasan hendak pulang. Seperti sebelumnya, dalam perjalanan menuju rumah orang tuanya di Tanah Merah, hati H. Hasan, diliputi tanda tanya yang hebat. Begitu tiba di rumah abahnya, ia mendapati banyak orang menangisi kepergian orang tua lelakinya itu. Rupanya, kapas dan minyak telon itu, sebagai perlambang bahwa penyakit orang tuanya tak dapat disembuhkan. “Kapok sudah saya bertemu Ra Lilur,” kata H. Hasan setengah menggerutu.

Geger, Wanita Misterius Penjemur Ikan Dinikahi Kiai

Di kawasan pesisir Bangkalan ada seseorang wanita yang sehari-harinya membersihkan ikan. Wanita itu tak ubahnya seorang buruh. Ia tiap hari membersihkan dan menjemur ikan milik orang. Ia hanya dapat upah sekian rupiah dari jerih payahnya itu. Kesibukan di kawasan pesisir itu membuat orang tak pernah memperhatikan wanita itu. Apalagi wanita itu memang tampil seperti umumnya buruh; kusut dan agak kotor. Karena itu masyarakat tak pernah memperdulikan.

Masyarakat baru terhenyak ketika wanita berpenampilan kumal itu dinikahi Ra Lilur. Rasan-rasan pun ramai. Mereka seolah tak percaya kiai seterhormat Ra Lilur mau menikahi wanita buruh itu.

Yang menarik, begitu berita pernikahan Ra Lilur dengan wanita itu tersebar, masyarakat mulai bertanya-tanya, dari mana asalnya wanita tersebut. Sebab meski setiap hari bertemu dan berkumpul masyarakat di sekitar pesisir itu tak ada yang tahu asal muasal wanita tersebut. Masyarakat pun mulai geger. Wanita itu dianggap misterius karena tak diketahui asal usulnya.

Ajaibnya, begitu masyarakat heboh tiba-tiba muncul informasi bahwa wanita tersebut berasal dari kesultanan Demak. Karuan saja masyarakat kembali ramai.

Tapi benarkah ia berasal dari kesultanan Demak? Wallahu a’lam. Tapi masyarakat di sekitar pesisir itu yakin ia berasal dari Demak. Yang juga unik wanita itu tetap sederhana meski dinikahi Ra Lilur. Padahal ia telah jadi istri orang terhormat dan disegani masyarakat. Bahkan Ra Lilur bukan saja disegani masyarakat tapi juga dihormati para ulama. Toh istri Ra Lilur tetap bersahaja. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya ia berjualan es lilin. Dagangannya itu kadang dijajakan kepada para santri KH. Abdullah Schaal di Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan. “Ia sering ke sini (pesantren) jual es lilin,” kata salah seorang keluarga Kiai Abdullah Schaal.

Aneh, memang. Padahal, kalau mau, bisa saja ia kaya raya mengingat tamu Ra Lilur yang terus membludak. Ia juga bisa ongkang-ongkang, tak usah kerja keras, seperti umumnya istri kiai. Tapi itu tak ia lakukan. Ia lebih suka makan dari hasil keringatnya sendiri ketimbang menunggu pemberian masyarakat.

Terjangkit Penyakit Menahun, Diobati dengan Tiga Korma

Ra Lilur ternyata tak hanya piawai mendeteksi masa depan. Ia juga ahli mengobati orang sakit. Tak aneh jika banyak tamu yang minta tolong untuk mengobati penyakitnya. Bahkan semenjak hijrah ke sebuah desa di kecamatan Galis Bangkalan, tamu yang hadir meminta barokah semakin bejibun saja. Uniknya, yang datang tidak hanya dari kalangan santri dan masyarakat biasa, namun juga kiai pengasuh pesantren yang punya masalah.

Salah satunya, seorang kiai asal Surabaya. Kiai ini sudah puluhan tahun mengidap penyakit aneh. Awalnya dikira terkena serangan syaraf. Menurut analisis dokter spesialis syaraf terkenal yang praktik di Jl. Diponegoro Surabaya, kiai ini, syaraf rahangnya terganggu, sehingga sulit mengatupkan lidahnya. Kalau berbicara harus dipegang. Pendek kata penderitaan itu sudah lama.

Sebelum memeriksakan ke dokter neurolog tersebut, kiai ini melanglang buana berkonsultasi dengan berbagai ahli, baik ahli medis, maupun paranormal. Tapi hasilnya nol besar. Bahkan pernah juga berkonsultasi ke KH. Ghofur, pengasuh ponpes Sunan Drajat Paciran Lamongan. Juga gagal. Salah seorang santrinya, pernah menyarankan agar berobat ke suatu daerah di Jabar. Tapi setelah dijalankan, perkembangannya hanya sesaat. Usai berobat, hanya sepekan kondisinya sehat, setelah itu kambuh lagi.

Karena penyakit yang menahun inilah, kemudian timbul syak swasangka, jangan-jangan penyakit aneh ini, bukan penyakit lahir, karena tak terdeteksi secara medis, tetapi penyakit kiriman, alias terkena sihir atau sejenisnya. Namun kiai ini terus berikhtiar sembari tetap pasrah. Di tengah-tengah kepasrahan itulah, tiba-tiba timbul wisik-wisik dari seorang tamu yang agak aneh. Tamu itu menyarankan, agar meminta barokah ke Ra Lilur.

Tanpa pikir panjang, maka berangkatlah rombongan kiai itu ke tempat pedepokan Ra Lilur di sebuah desa Banjar kecamatan Galis Kabupaten Bangkalan. Biasanya orang yang tak pernah sowan ke Ra Lilur, sulit langsung ditemui. Tapi khusus yang satu ini, Ra Lilur langsung menyanggongnya. “Lenggi-lenggi pada parlo napa (mari silakan duduk, ada maksud apa ke sini),” sapanya.

Kiai ini langsung mengutarakan niatnya. Ia juga menceritakan perjalanannya berobat ke mana-mana, namun hasilnya nihil. Mendengar keluhan itu, Ra Lilur langsung memberi tiga buah korma dari dalam rumahnya. “Da’ar pa tada’ (silakan makan dihabiskan),” kata Ra Lilur.

Saat dialog itu tak begitu cair. Maklum Ra Lilur memang sering memperlihatkan suasana yang sulit ditebak. Kadang-kadang tertawa, tapi kadang-kadang tak banyak bicara. Mungkin saat itu, Ra Lilur paham, betapa menderitanya kiai ini lantaran merasakan sakit menahun.

Usai menyuguhkan tiga korma, Ra Lilur memberi wejangan, agar kiai tadi, berobat ke seorang dokter kiai di sebuah kawasan sekitar Pasar Turi Surabaya. Kenapa disebut dokter kiai, karena dokter itu, selain memberi obat, juga memberi bacaan-bacaan. Hasilnya? Alhamdulillah, penyakit menahun kiai sederhana itu akhirnya berangsur-angsur sembuh.

Ra Lilur membakar Pondok Pesanteran

Kecenderungan Ra Lilur berperilaku seperti Nabi Khidlir memang cukup tinggi. Akibatnya, masyarakat cenderung tak paham. Bahkan ada yang nggrundel menyalahkan. Mereka baru sadar setelah peristiwa itu terjadi kemudahan. Ini terjadi juga ketika Ra Lilur membakar pondok pesantren yang diasuh KH. Abdullah Schaal. Seperti dilaporkan HARIAN BANGSA kemarin, Ra Lilur tiba-tiba membakar pondok pesantren.

Pesantren (PP) Syaikhona Kholil Demangan Barat Bangkalan. Karuan saja masyarakat geger. Karena dalam pandangan masyarakat umum, hanya orang gila yang berani membakar pondok pesantren. Apalagi, masyarakat Bangkalan sangat fanatik terhadap dunia pesantren. Kala itu memang belum diketahui siapa orang yang berani membakar pesantren milik Kiai Abdullah yang terkenal sangat kharismatis di Bangkalan itu.

Aparat keamanan pun kewalahan. Mereka langsung mencari siapa sebenarnya pelaku pembakaran itu. Namun, belum sempat tahu siapa pelakunya, KH. Amin Imron (kini almarhum) langsung mencegatnya. “Sudah biar saja Pak, yang bakar pondok itu keponakan saya sendiri kok,” kata Kiai Amin, ayah anggota DPR Fuad Amin.

Mendengar itu polisi langsung balik kucing. Begitu juga Kiai Abdullah Schaal. Ia tenang-tenang saja. Kiai yang sangat dihormati masyarakat Madura itu bahkan hanya senyum-senyum saja.

Memang. Peristiwa pembakaran pesantren yang terjadi pada 1979 itu ternyata menyimpan isyarat penuh misteri. Meski demikian, kala itu muncul ramalan bahwa suatu hari nanti akan berdiri bangunan pesantren setinggi ujung bara api, bekas pembakaran. Tinggi api ketika pesantren itu dibakar setinggi pohon kelapa.

Ternyata benar. Kini berdiri bangunan berlantai 7 mirip hotel. Pesantren itu untuk menampung para santri yang terus membludak dari tahun ke tahun. Pada tahun 1970, misalnya jumlah santri hanya berkisar 20 sampai 30 orang. “Itu pun hanya santri putra,” tutur Kiai Imam Buchori. Kini santri pesantren itu telah mencapai ratusan terdiri terdiri dari santri putera dan puteri.

Di Sadur Dari Blog: [ www.khsblog.net ]
Share:

Senin, 09 April 2018

Kisah Tebuireng Dari Mbah Hasyim Hingga Gus Dur

Pesantren Tebuireng: bukan pesantren tertua. Tapi pesantren yang berada di Jombang ini sangat dikenal karena menjadi pusat perjuagan sejak pertengahan abad ke-19.

Tebuireng sendiri lahir sebagai respon terhadap tumbuhnya kapitalisme liberal yang tubuh bersamaan tumbuhnya industri gula di kawasan itu. Pabrik gula itu membawa ekses ketidakadilan sosial, pemiskinan, dan berbagai macam kriminalitas yang sengaja dilestarikan oleh penjajah guna melemahkan mental masyarakat jajahan.

Sebagai seorang aktivis muda, Hasyim asy’ari yang telah mendapatkan pendidikan paripurna dari seluruh peantren terkemuka di Jawa yang kemudian berpuncak mendapatkan pendidikan agama di Tanah Suci. Ia tergerak untuk mengatasi tantangan struktural itu, maka pada tahun Rabiul Awal 1317/1899 M didirikanlah sebuah pesantren di Tebuireng di Cukir. Berhadapan persis dengan pabrik Gula Cukir.

Sejak awal berdirinya, pesantren tersebut tidak mengenakkan kalangan kolonial yang bercokol di situ, maka gangguan demi gangguan dilakukan oleh sekelompok preman dan jagoan yang dipelihara oleh Belanda.

Ketika posisi Kiai dan segenap santri yang jumlanya hanya beberapa orang itu sangat terancam, maka Mbah Hasyim Asy’ari meminta bantan pada kiai-kiai dari Cirebon yang dikenal memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Kiai Abbas beserta beberapa kiai yang lain dari Buntet Cirebon datang memberikam bantuan. Semua jagoan yang ada di situ bisa dikalahkan sehingga mereka tidak berani lagi menggangu pesantren. Tetapi tidak dengan sendirinya pengawasan Belanda berhenti, sebaliknya terus diintensifkan.

Dengan berkurangnya gangguan itu, jumlah santri yang datang semakin bertambah. Ada sekitar 28 orang yang berasal dari berbagai tempat di Jawa Timur. Sebagai pesantren Salafiyah, Tebuireng mengajarkan berbagai kitab penting baik dalam fiqih, tauhid dan akhlaq.

Keahlian Mbah Hasyim Asy’ari dalam bidang hadits dan tafsir, menjadi daya tarik utama pesantren yang dirintisnya itu. Semua kitab diajarkan sesuai dengan tradisi pesantren Salaf, yaitu dengan metode bandongan, dan sorogan, bahkan saat itu metode halaqah juga sudah diterapkan, sehingga kehidupan akademis para santri menjadi dinamis dalam mengasah diri. Banyak santri senior dari pesantren juga dating, nyantri di Tebuireng baik sekadar mencari barokah maupun sengaja melibatkan diri dalam perjuangan politik yang gerakan dari pesantren itu.

Saat itu santri sudah datang dari Jawa tengan dan Jawa Barat sehingga jumlahnya kemudian meningkat hingga 200 orang. Apalagi sikap kiai yang sangat tegas pendiriannya dalam menghadapi berbagai persoalan kolonial, menjadi daya tarik tersendiri bagi para santri untuk berguru kepadanya. Melihat perkembangan pesantren Tebuireng yang semakin tidak terbendung itu, pemerintah Kolonial Belanda akhirnya terpaksa mengakui pesantren ini tahun 1906. Namun, Mbah Hasyim ini tetap waspada. Sebab, dia tahu bahwa pengakuan ini tidak lebih merupakan bagian dari Politiek Etis, sebuah tipu muslihat Belanda untuk membelandakan bangsa Indonesia dan umat Islam melalui pendidikan.

Ternyata, Tebuireng tetap pada pendiriannya, tidak mau tunduk pada Belanda dan tidak mau menerima bantuannya, bahkan semakin intensif menyardarkan bangsanya. Pesantren itu dituduh sebagai sarang ekstrimis Islam, karena itu pada tahun 1913 pesantren Tebuireng dihancurkan dan berbagai kitab penting dibakar oleh Belanda.

Menghadapi tantangan yang semakin berat itu tiada lain bagi peasantren ini untuk menyiapkan pejuang yang selain mendalam ilmu agamanya tetapi juga memiliki bekal ilmu pengetahuan umum yang memadai sebagai modal perjuangan nasional.

Walaupun Mbah Hasyim murni berpendidikan Salaf, tetapi sangat menghargai kemajuan yang terjadi di lingkungannya. Sebab itu, tahun 1919 telah diselenggarakan pendidikan formal yang bersifat klasikal yang dinamakan Madrasah Salafiyah Syafiiyah. Pelopor pembaruan di tebuireng ini adalah seorang Kiai Muda Muhamamad Ilayas yang sangat dipercaya oleh K Hasyim Asy’ari, sehingga berani memulai mengajarkan mata pelajaran umum yang selama ini belum dikenal di pesantren salafiyah.

Kalau semua kitab agama dipelajari dengan menggunakan bahsa Arab, tetapi saat itu, mulai diperkenalkan huruf latin, bersamaan dengan diterapkannya mata pelajaran bahasa Melayu, berhitung, sejarah, ilmu bumi dan sebagainya.

Tawaran baru ini sangat menarik kalangan santri yang sedang bangkit dan bergejolak saat itu. Sehingga Tebuireng menjadi pesantren idaman di kalangan pemuda tidak hanya dari Jawa, tetapi dikenal di seluruh Nusantara.

Para santri dari Tebuireng ini kemudian menjadi ulama besar yang memimin berbagai pesantren penting di Nusantara, antara lain KH Wahab hasbullah memimpin Pesantren ambakberas, KH Abdul Karim pendiri peantren Lirboyo dan sebagainya, termasuk K Ahmad Shiddiq adalah murid K Hasyim yang disegani.

Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang sangat giat bekerja mencari harta dan selalau menganjurkan orang untuk bercocok tanam yang dianggapnya sebagai pekerjaan sangat mulia. Demikian pula untuk mengembangkan pendidikan. Kedua dirasa sangat perlu untuk memperkuat basis perekonomian dan basis moral. Karena itu pada tahu 1919 itu juga didirikanlah Nahdlatut Tujjar yang dipimpin sendiri kemudian bendaharanya adalah Kiai Wahab Chasbullah. Sejak saat itu Tebuireng menjadi simpul utama dari pergerakan nasional.

DI TENGAH gigihnya perlawan tehadap Belanda itu, kelompok Wahabi menguasai Masjidil Haram yang hendak menerapkan satu madzhab, yaitu Wahabi. Tingkah kelompok ini macam-macam, di antaranta mereka hendak membongkar makam Nabi Muhammad.

Para ulama pesantren tidak setuju dengan tingkah pola dan pemirikan agama kaum Wahabi. Lantas, Kiai Wahab usul kepada Mbah Hasyim agar dibentuk kepanitiaan untuk memprotes tindakan raja Ibnu Saud. Terbentuklah panitia bernama Komite Hejaz.

Dikirimlah delegasi Komite Hejaz itu. Setelah mendapat persetujuan dari pemimpin pesantren Terbuireng itu maka pada 31 Januari 1926 NU didirikan dan K Hasyim sendiri sebagai Rais Akbar.

Dengan menggunakan jaringann ulama yang dimiliki kiai, maka dengan cepat NU menyebar menjadi organisiasi besar. Dengan sendirinya Tebuireng menjadi sentral perjuangan kaum santri Nusantara saat itu. Ataa restu Mbah Hasyim, kiai Wahab dan kiai muda lain semakin leluasa dan giat bergerak membangkitkan umat.

Dengan lahirnya NU, daya tarik Pesantren Tebuireng semakin memuncak. Seiring dengan naiknya pamor pesantren itu, maka santri berdatangan dari seluruh Nusantara. Demikian juga para pemimpin pergerakan Nasional berdaatangan ke Pesantren itu sekedar untuk meminta restu dan memberikan dukungan moril atas kiprahnya.

Mereka itulah yang kemudian menjadi perintis NU di daerah masing-masing. Perlawanan terhadap penjajah juga semakin meluas di kalangan kiai dan santri pesantren setelah mendapat spirit baru perjuangan. Melihat gelagat semacam itu maka pesantren ini selalu mendapatkan perhatian bahkan kunjunga dari berbagai pejabat Belanda terutama menteri urusan pribumi.

Untuk mempercepat perkembangan pesantren dalam penyadaran masyarakat, maka pada tahun 1934, putra Mbah Hasyim, Kiai Wahid Hasyim, merintis pendidikan khusus yang diberi nama Madrasah Nidzomiyah, sebuah langkah spektakular, sebabab pendidikan yang hanya bisa diikuti santri senior dan pilihan ini mengajarkan 70 persen mata pelajaran umum.

Di situ juga disediakan perpustakaan yang berisi sekitar 1000 judul buku, serta tidak ketinggalan disediakan berbagai majalah dan surat kabar, sehingga peroduk dari perguruan ini menjadi organisator yang tertib dan piawi serta pejuang yang militant.

Hingga tahun 1940-an, jumlah kiai yang dilahirkan dari Pesantren Tebuireng terdata sebanyak 25.000 orang tersebar di seluruh Nusantara. Dalam penyelidikan Jepang semua kiai yang militant tersebut ditengarai sebagai fabrikaat Tebuireng (gemblengan Tebuireng).

Karena itu ketika melihat Mbah Hasyim tetap membangkang tidak mau melakukan Saikere (penghormatan) pada bendera dan kaisar jepang, maka pada april 1942 kiai ini ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang.

Setelah dipenjara sekitar setahun beliau dibebaskan tanpa syarat, bahkan kemdian diberi jabatan Tinggi sebagai ketua Jawa Hokakai, menjadi Ketua MIAI dan ketua Masyumi.

Melihat posisi strategis dan keamana di pesantren ini maka ketika laranagn terhadap pegibaran bendera merah putih serta melagkan Indonesia raya diberlakukan keduanya masih bisa berkibar dan dinyanyikan di Pesantren Tebuireng.

Pada masa menjelang kemerdekaan dan masa awal kemerdekaan dalam mempertahankan kemerdekaan, posisi Pesantren Tebuireng sangat sentral. Bersamaan dikeluarkannya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, para pimpinan Nasional baik Bung Karno, Tan malaka dan Bung Tomo selalu berkordinasi ke Tebuireng untuk menghadapi sekutu.

Para sntri ulama dan keluarga Pesantren Tebuireng semuanya turun ke medan laga menjadi tentara seperti KH Wahid Hasyim, KH Chaliq, KH Hasyim, KH Yusuf Hasyim dan sebagainya. Seusai kemerdekaan banyak di antara mereka yang kembali mengajar di pesantren dan yang meneruskan perjuangan di parlemen dan di berbagai lembaga eksekutif.

Dengan peran politiknya yang besar, melahirkan tokoh-tokoh besar, Tebuireng menjadi semakin dikenal, apalagi pendirinya yakni KH Hasyim Asy’ari dan kemudian puteranya KH Wachid Hasyim mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional sehingga namanya menghiasi sejarah perjuangan nasional.

Pamor ini dengan sendirinya menyedot minat masyarakat belajar ke pesantren besar ini, karena itu pendidikan semakin dikembangkan baik secara materi dan fisik bangunannya.

Sejak tahun 1965 pesantren ini dipimpin oleh KH Yusuf Hasyim, yang kemudian pada tahun 1969 merintis pendirian pendidikan tinggi dengan membangun Universitas Hasyim Asy’ari.

Sepeninggal KH Yusuf Hasyim epemimpinan Pesantren Tebuireng dilanjutkan oleh KH Salahuddin Wahid. Saat ini pesantren Tebuireng semakin ramai dikunjungi orang dari berbagai kalangan semenjak KH Abdurrahman Wahid putera dari KH Wahid Hasyim dimakamkan bersama dengan kakeknya KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim.

Setiap hari ribuan penziarah dari kalangan muslim maupun non Muslim menziarahi makam KH Abdurrahman Wahid, sebagai tokoh pemersatu bangsa yang sangat dihormati oleh semua kalangan, sehingga pesantren Tebuireng yang semula surut saat ini kembali dikenal dan menjadi pusat perhatian. (Abdul Mun’im DZ.)

Sumber: H. Aboebajar Aceh, Sejarah Hidup KH Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Diterbitkan Panitia Peringatan KH Wahid Hasyim, Jakarta 1957.,

Choirul Anam Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Penerbit Bisma Satu, Surabaya, 1999.

Departemen Agama RI, Enskilopedi Islam, Penerbit Depag RI, Jakarta, 1987.

Di Copast Dari Situs: [ Nu Online ]
Share:

Senin, 02 April 2018

Kisah Sayyidina Umar Dan Lelaki Pemabuk Bertaubat Karena Khamer Jadi Cuka

Pada masa kekhalifahan Sayyidina Umar bin Khattab, ada seorang lelaki yang gemar sekali minum khomr (arak). Suatu malam ketika lelaki itu sedang berjalan di sebuah gang di kota Madinah dengan sebotol arak di tangannya. Kemudian ia berjumpa dengan Sayyidina Umar.

"Dia adalah Umar bin Khoththob, apa yang aku katakan kepadanya jika ia bertanya padaku?" ucap lelaki itu dalam hati.

Jantungnya mulai berdebar-debar karena takut ketahuan oleh Sayyidina Umar. Kalau-kalau nanti sampai bertanya apa isi botol yang sedang dipegangnya.

Setiap malam Sayyidina Umar selalu berkeliling kota, mengamati keadaan rakyatnya. Jika Beliau mendapati kemungkaran, beliau segera memberantasnya. Cambuk Sayyidina Umar lebih ditakuti daripada pedangnya Hajjaj. 

Setelah memeras otak lelaki itu pun berkata: "Yaa Allah, jika engkau selamatkan aku dari Umar saat ini, maka aku akan bertobat kepada-Mu."

Lelaki itu pun berpapasan dengan Sayyidina Umar. 

"Apa itu yang kau bawa?" tanya Sayyidina Umar

"Botol" jawab lelaki itu. 

"Apa isi nya?"

"Cuka"

"Bawa kemari!" kata Sayyidina Umar.

Beliau pun meneliti isi botol tersebut. Dan ternyata botol tersebut benar-benar berisi cuka.

Setelah Sayyidina Umar pergi lelaki itu pun bersyukur : "Yaa Allah, betapa seringnya aku bermaksiat kepada-Mu, namun kasih sayang-Mu begitu besar padaku. Mulai saat ini aku benar-benar bertobat kepada-Mu."

Catatan:
Allah SWT mengetahui kesungguhan lelaki itu dan merubah Arak yang ada di dalam botol menjadi cuka. 

Imam Al Ghazali berkata:
"Sebagaimana Allah mampu merubah arak itu menjadi cuka, maka ketahuilah Allah juga Maha Mampu untuk merubah keburukan menjadi kebaikan".

Barang siapa bersungguh-sungguh bertobat kepada Allah SWT, maka keburukan-keburukan yang pernah dilakukan akan di catat sebagai kebaikan oleh Allah. Ini adalah salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada manusia sebagai hamba.

Sumber: [ www.dutaislam.com/ed/pin ]
Share:

Minggu, 01 April 2018

Sufyan Bin Uyainah Imam Penduduk Hijaz

Nama, Kelahiran Nan Sifat-sifatnya 

Namanya: Abu Muhammad Sufyan bin ‘Uyainah bin Abi Imran Maimun al-Hilali al-Kufi, seorang budak Muhammad bin Muzahim saudara kandung ad-Dhahak bin Muzahim. (Tahdziibul Kamaal 11/177-178) 

Kelahirannya: Muhammad bin ‘Umar berkata: ”Sufyan bin ‘Uyainah megabarkan kepadaku bahwasanya ia lahir pada tahun 107 Hijriyah.” 

Ibnu Sa’ad berkata: ”Sufyan bin ‘Uyainah berasal dari Kufah. Dia pembantu Khalid bin ‘Abdillah al-Qusairi. Ketika Khalid bin ‘Abdillah diturunkan dari jabatannya di Irak dan diganti oleh Yusuf bin ‘Umar ats-Tsaqafi, maka Yusuf mencari (memburu) para pembantu Khalid. Akibatnya, para pembantu Khalid termasuk Sufyan bin ‘Uyainah melarikan diri hingga bertemu ‘Uyainah bin Abi ‘Imran di Makkah. Selanjutnya, Sufyan bin ‘Uyainah menetap di sana.” (Thabaqat Ibnu Sa’ad 4/497)

Sifat fisiknya: Sufyan bin ‘Uyainah sebagaimana disampaikan al-Mizzi adalah seorang yang bermata juling. 

Sanjungan Para Ulama Terhadapnya 

Abu Nu’aim rahimahullah berkata: ”Di antara imam yang amin (dapat dipercaya), berakal cerdas, mampu ber-istibath hukum (mengambil hukum dari dalil) dan mengorelasikan hukum-hukum tersebut adalah Abu Muhammad Sufyan bin ‘Uyainah. Dia seorang cendekiawan intelektual, seorang kritikus yang zuhud dan ahli ibadah. Keilmuan dan kezuhudannya sudah mashyur di kalangan Ulama.” (Hilyatul Auliya’ 7/270) 

Adz-Dzahabi rahimahullah menambahkan: ”Sufyan bin ‘Uyainah mulai menghafal dan mencari hadits sejak usianya masih kecil. Karena dia telah banyak menimba ilmu dari para Ulama besar terkemuka, maka hal tersebut membentuk sosoknya sebagai insan yang mutqin (profesional); kaya akan ilmu dan pengetahuan; mempunyai naluri intelektual sangat baik dan mengahasilkan banyak karya. 

Usianya yang panjang membuat dirinya sebagai tempat rujukan para Ahli hadits dalam menimba ilmu dan mendapatkan sanad ‘Ali. Para Ahli hadits berdatangan dari berbagai negeri menuju Sufyan bin ‘Uyainah, sehingga tanpa disengaja, di antara mereka saling bertemu antara cucu dengan kakeknya (karena umur Sufyan bin ‘Uyainah yang panjang).” (Siyar A’laamin Nubala’)
 

Ibnu Mahdi rahimahullah berkata: ”Ibnu ‘Uyainah memiliki sebagaian pengetahuan tentang al-Qur’an dan tafsir hadits yang tidak dimiliki oleh Sufyan ats-Tsauri rahimahullah.” 

Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata: ”Dia adalah orang yang paling tsabit dalam meriwayatkan hadits dari ‘Amr bin Dinar rahimahullah.” 

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: ”Kalau tidak ada Imam Malik dan Sufyan bin ‘Uyainah, niscya hilanglah ilmu yang ada di daerah Hijaz (Mekah, Madinah dan sekitarnya).”

Abu ‘Isa at-Tirmidzi rahimahullah berkata: ”Aku mendengar Muhammad, maksudnya Imam al-Bukhari berkata: "Ibnu ‘Uyainah lebih kuat hafalannya dibandingkan Hammad bin Zaid."

Abdullah bin Wahb rahimahullah berkata: ”Aku tidak mengetahui ada seorang yang lebih mengetahui tafsir al-Qur’an dibandingkan dengan Ibnu ‘Uyainah.” dan beliau juga berkata:”Imam Ahmad bin Hanbal lebih mengetahui tentang sunnah (hadits) Nabi dibandingkan Sufyan (Ibnu ‘Uyainah).”

Waki’ rahimahullah berkata: ”Kami menulis hadits dari Ibnu ‘Uyainah pada zaman al-A’masy masih hidup.” 

’Ali bin al-Madini rahimahullah berkata: ”Tidak ada seorang pun Shahabat az-Zuhri yang lebih sempurna dibandingkan Sufyan bin ‘Uyainah.”

Ahmad bin ‘Abdillah al-‘Ajali rahimahullah berkata: ”Ibnu ‘Uyainah adalah seorang yang tsabit (kokoh/kuat hafalanya) dalam hadits; dia menghafal hadits sekitar tujuh ribu hadits, sedangkan dia tidak memiliki kitab (buku).” 

Bahz bin Asad rahimahullah berkata: ”Aku tidak pernah melihat seseorang sepadan dengan Sufyan bin ‘Uyainah.” Lalu ditanyakan kepadanya: ”Apakah Syu’bah juga tidak sepadan dengannya?” Dia menjawab: ”Tidak juga Syu’bah.” 

Ilmunya yang Luas 

Harmalah bin Yahya rahimahullah berkata: ”Aku telah mendengar Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: "Aku belum pernah melihat orang yang memiliki piranti ilmu (ilmu alat untuk memahami al-Qur’an dan Hadits) sebagaimana yang dimiliki oleh Sufyan bin ‘Uyainah. Dan aku belum pernah melihat orang yang lebih berhati-hati dalam berfatwa (tidak mudah untuk memberikan fatwa) dibandingkan dengannya.”

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ”Aku mendapati hadits ahkam (hadits-hadits tentang hukum) semuanya ada pada (dihafal) Ibnu ‘Uyainah rahimahullah kecuali hanya enam hadits saja, dan aku mendapatinya (hadits ahkam) semuanya ada pada Imam Malik rahimahullah kecuali hanya tiga puluh hadits saja.” (Tadzkiratul Kamal 11/190) 

Imam adz-Dzahabi menambahkan perkataan di atas: ”Maka ini menjelaskan kepada anda tentang luasnya ilmu Sufyan, karena dia menggabungkan hadits-hadits dari orang Irak dan Hijaz, dan dia bertemu dengan banyak ulama (perawi hadits) yang tidak ditemui oleh Imam Malik. Dan keduanya adalah sepadan dalam masalah profesionalisme, akan tetapi Imam Malik lebih agung dan lebih tinggi, karena dia memiliki (guru) Nafi’ dan Sa’id al-Maqbari rahimahumallah.” (Tadzkiratul Kamal) 

’Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: ”Ibnu ‘Uyainah termasuk salah seorang yamg paling tahu tentang haditsnya penduduk Hijaz.” (Siyar A’lamin Nubala’) 

Keteguhannya Mengikuti Sunnah 

Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata: ”Sufyan bin ‘Uyainah adalah ulama Ahli hadits yang mengikuti (mengamalkan) hadits tersebut.” 

Muhammad bin Ishaq ash-Shaghani rahimahullah berkata: ”Telah bercerita kepada kami Luwain, bahwasanya dia berkata: ”Dikatakan kepada Ibnu ‘Uyainah: ’Apakah ini hadits-hadits yang diriwayatkan tentang masalah ru’yah (hadits yang menyebutkan bahwa orang beriman akan melihat Allah pada hari Kiamat)? ”Sufyan menjawab: ”Benar, sesuai dengan apa yang kami dengar dari orang-orang yang kami percayai dan kami ridhoi.” 

Ibrahim bin Sa’id al-Jauhari berkata: ”Aku telah mendengar Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: ”Iman adalah ucapan dan perbuatan, ia bisa bertambah dan berkurang.” 

Imam ath-Thabrani rahimahullah berkata: ”Telah mengabarkan kepada kami Bisyr bin Musa, telah mengabarkan kepada kami al-Humaidi, ia berkata: ’Dikatakan Sufyan bin ‘Uyainah: ’Sesungguhnya Bisyr al-Marisi berkata: ’Sesungguhnya Allah tidak dilihat pada hari Kiamat.’ Maka Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullahberkata: ”Semoga Allah memerangi si kutu itu (maksudnya Bisyr), apakah dia tidak mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ(15) 

”Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka (orang kafir/musuh Allah) pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 15) 

Jika Allah juga terhalangi dari pandangan para wali-wali-Nya (maksudnya wali-wali Allah tidak melihat Allah), maka di mana kelebihan wali-Nya dibandingkan musuh-Nya?” (Maksudnya kalau Allah tidak dilihat oleh para wali-wali-Nya yaitu orang-orang beriman, maka tidak ada beda antara wali Allah dengan musuh-Nya) 

 Kezuhudannya dan Pendapatnya seputar Zuhud 

Al-Musayyib bin Wadhih rahimahullah berkata: ’Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah ditanya tentang Zuhud, maka beliau menjawab: ”Zuhud adalah terhadap apa yang dilarang oleh Allah, adapun untuk yang dihalalkan oleh Allah, maka Dia telah membolehkannya untukmu. Para Nabi menikah, menaiki kendaraan, dan makan. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'alamelarang sesuatu dan mereka pun meninggalkannya, dengan hal mereka menjadi orang yang zuhud.” 

Dari Ahmad bin Ubadah, ia berkata: ’Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dan berkata: ”Zuhud di dunia adalah bersabar danbersiap-siap menerima datangnya kematian.” 

Ahmad bin Abi al-Hawari berkata: ’Aku bertanya kepada Sufyan bin ‘Uyainah: ’Bagaimanakah orang yang dikategorikan zuhud di dunia itu?’ Dia menjawab: ”Disebut zuhud apabila seseorang mendapatkan nikmat ia bersyukur dan ketika menerima musibah ia bersabar.” 

 Guru-gurunya 

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Ibnu ‘Uyainah meriwayatkan hadits dari Abdul Malik bin ‘mar, Abu Ishaq as-Sab’i, Ziyad bin Alaqah, Aswad bin Qais, Abban bin Taghlab, Ibrahim bin Musa, Muhammad bin ‘Uqbah, Ishaq bin ‘Abdillah bin abi Thalhah, Israil bin Musa, Ismail bin Abi Khalid, Ismail bin Umayyah, Ayyub bin Abu Tamimah as-Sakhtiyani, Yazid bin Abi Bardah, Bayan bin Bisyr, Jafar ash-Shadiq, Jami’ bin Abi Rasyid, Humaid ath-Thawil, Humaid bin Qais al-A’raj, Zakaria bin Abi Zaidah, Zaid bin Aslam, Salim Abi Nadhir, Abu Hazim bin Dinar, Sulaiman at-Taimi, Sulaiman al-Ahwal, Sama, Suhail, Syubaib bin Gharqadah, Shalih bin Kaisan, Shalih bin Shalih bin Hayy, Safwan bin Sulaim, Dhamrah bin Sa’id, ,Ashim al-Ahwal, ‘Ashim bin Bahladah bin Kulaib. 

Juga tercatat sebagai guru-gurunya:’Abdullah bin Dinar, Abu Zinad, ‘Abdullah bin Thawus, ‘Abdullah bin Husain, Ibnu Abi Nujaih, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

 Murid-muridnya 

Dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah bahwa orang yang meriwayatkan hadits dari Sufyan bin ‘Uyainah antara lain: al-A’masy, Ibnu Juraij, Syu’bah, Sufyan ats-Tsauri, Mus’ar (di samping itu mereka semua juga termasuk guru Sufyan bin’uyainah), Abu Ishaq al-Fazari, Hammad bin Zaid, al-Hasan bin Hayy, Hammam, Abu al-Ahwash, Ibnul Mubarak, Qais bin ar-Rabi’, Abu Mu’awiyah, Waki’ al-Jarrah, Ma’mar bin Sulaiman, Yahya bin Zaidah (mereka ini hidup sezaman dengan Sufyan bin ‘Uyainah dan meninggal lebih dahulu) 

Di anatara muridnya juga; Muhammd bin Idris (Imam asy-Syafi’i) ‘Abdullah bin Wahhab, Yahya al-Qaththan,Ibnu Mahdi,Abu Usamah, al-Faryabi, ath-Thayalisi, ‘Abdurrazaq, Abu Nu’aim, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madini, Ishaq bin Rahawaih, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

 Beberapa Mutiara Perkataannya 

Muhammad bin Maimun al-khayyath berkata:’ Aku telah mendengar Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: ”Apabila waktu siangku adalah ketololan dan waktu malamku adalah kebodohan, maka apa gunanya ilmu yang aku telah kumpulkan selama ini.” 

Ibrahim al-Jauhari berkata: ’Aku pernah mendengar Ibnu ‘Uyainah berkata: ”Orang yang berilmu yang memelihara ilmunya adalah yang mengamalkan ilmu tersebut.” 

Abu Ma’mar berkata: ’Aku telah mendengar Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullahberkata:”Bukanlah disebut Ulama orang yang hanya mengetahui kebaikan dan keburukan, akan tetapi disebut Ulama apabila orang tersebut mengetahui sebuah kebaikan lalu mengamalkannya, dan mengetahui keburukan lalu menjauhinya.” 

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: ”Bergaulah kalian dengan Ulama, sesungguhnya duduk bersama Ulama akan mendapatkan keuntungan, berteman dengan Ulama akan selamat, dan bersahabat dengan ulama merupakan kemuliaan.” 

Abu Musa al-anshari berkata: ’Aku mendengar Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: ”Janganlah kalian menjadi orang yang berkelakuan buruk, yaitu orang yang tidak mendatangi masjid untuk menunaikan shalat, kecuali setelah iqamat dikumandangkan. Akan tetapi, datanglah ke masjid untuk menunaikan shalat sebelum adzan dikumadangkan.” 

Dari Ibrahim bin al-Asy’ats, ia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah telah memberitahukan kepada kami dengan berkata: ”Telah dikatakan bahwa manusia yang paling rugi di hari Kiamat adalah tiga kelompok manusia: 

Pertama: Seorang laki-laki yang mempunyai budak, sedangkan besok di Hari Kiamat, amal kebaikan budak tersebut lebih banyak dari pada amalnya. 

Kedua: Seseorang yang memiliki harta, namun tidak mau bersedekah sedikit pun sampai ia meninggal. Kemudian, harta tersebut diwariskan kepada orang lain dan harta itu kemudian disedekahkan. 

Ketiga: Seorang Ulama yang ilmunya tidak bermanfaat baginya, akan tetapi dengan diajarkannya kepada orang lain,sedang orang lain itu dapat mengambil manfaat dari ilmu tersebut.” 

Abu Ayyub Sulaiman bin Dawud, dari Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah dia berkata: ”Apabila nasehat yang sedikit tidak bermanfaat bagi orang yang berakal, maka nasehat yang banyak tidak akan menambah sesuatu melainkan kejelekan.” 

 Wafatnya: 

Dari Hasan bin Imran bin ‘Uyainah bin Abi Imran, keponakan Sufyan bin ‘Uyainah ia berkata: ”Aku pergi haji bersama pamanku, Sufyan bin ‘Uyainah yaitu pada tahun 197 Hijriyah. Setelah kami menunaikan shalat dengan cara dijamak, dia lalu berbaring di atas tikarnya. Dalam keadaan terbaring itulah dia berkata: ”Sungguh aku telah mendatangi tempat ini selama tujuh puluh tahun lamanya, setiap tahunnya aku memohon: ”Ya Allah, janganlah Engkau jadikan hajiku kali ini sebagai kesempatan haji terakhirku. Dan sekarang sungguh aku malu sekali kepada Allah karena begitu banyaknya aku memohon kepada-Nya.” 

Kemudian Ibnu ‘Uyainah kembali untuk pulang dan akhirnya dia meniggal pada tahun berikutnya, tepatnya pada hari sabtu, hari pertama bulan Rajab tahun 198 Hijriyah dan dimakamkan di Hajun.” 

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan rahmat kepada beliau dan menempatkan beliau di Surga-Nya yang membentang luas. Amiin 

[ Sumber: Diringkas dari kitab Min A’laamis Salaf edisi indonesia 60 bografi Ulama salaf, pustaka al-Kautsar dengan sedikit perubahan dari sumber-sumber lain berbahasa Arab. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono ]

Di Copaste Dari Situs: www.alsofwah.or.id
Share:

Jumat, 30 Maret 2018

Syaikhona Kholil Peroleh Banyak Ilmu Dari Ulama Yang Telah Meninggal

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Seseorang yang dekat dengan-Nya bisa jadi diberi kemampuan istimewa untuk mengajarkan ilmu kepada seorang muridnya dengan sekejap.

Alkisah, ketika Syaichona Cholil Bangkalan Madura masih muda, ia mendengar ada seorang kiai di daerah Pasuruan, Jawa Timur yang sangat alim, yaitu Kiai Abu Darin. Keteguhan tekad dan keinginan yang kuat untuk menimba ilmu kepada Kiai Abu Darin, membuat Syaichona Cholil rela berjalan kaki dari Bangkalan, Madura menuju Pasuruan, tempat kiai itu tinggal.

Sayang seribu sayang, saat sampai di kediaman Kiai Abu Darin, ternyata beliau telah wafat beberapa hari yang lalu sebelum kedatangan Kiai Kholil. Tak ada pilihan lain bagi Syaichona Cholil kecuali ia berziarah ke makam Kiai Abu Darin yang terletak tidak jauh dari pondok pesantren.

Karena begitu kuatnya tekad ingin belajar kepada Kiai Abu Darin, Syaichona Cholil rela terus berada di makamnya seraya membaca Al-Qur’an selama 40 hari. Pada malam ke 41, ia bermimpi bertemu dengan Kiai Abu Darin seraya berkata, “Karena niatmu tulus dan tekadmu yang kuat untuk belajar kepadaku, maka aku berikan kepadamu sebagian dari ilmuku.”

Anehnya, ketika terbangun, Syaichona Cholil tiba-tiba telah menghafal beberapa kitab di luar kepala, di antaranya, imrithi, Asymuni, dan Alfiyah. Kitab-kitab tersebut merupakan kitab yang banyak dipelajari dan dikaji di berbagai pondok pesantren di Indonesia.

Kisah ini memberi pelajaran bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Dengan tekad yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh pastilah kita akan memperoleh apa yang kita harapkan, karena tidak ada usaha yang sia-sia dan tiada guna.

Kita harus punya ikhtiar yang kokoh dalam menjalankan hidup dan selalu bermunajat kepada Allah SWT, sehingga seluruh ikhtiar tersebut dikabulkan oleh Allah SWT. Pengalaman hidup Syaichona Cholil dapat dijadikan cerminan bagi kita untuk senantiasa berharap dan berdoa kepada Allah SWT dengan sepenuh hati dan seikhlas-ikhlasnya.

Sumber Artikel: [ www.baldatuna.com ]
Share:

Tokoh Islam

Hikmah

Islamia

Muslimah